//
anda sedang membaca...
Info PPDB

Perbaiki Sistem PPDB

PERTENGAHAN Juli 2013 ini tahun pelajaran baru akan dimulai. Orang tua berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke sekolah unggulan. Hiruk-pikuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB ) sudah dimulai dengan PPDB di sekolah-sekolah unggul. Sekolah unggulan pun kewalahan. Setiap tahun kita dihadapkan pada berbagai persoalan yang muncul  terutama ketersediaan akses kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai. Demi untuk menyediakan akses kesempatan memperoleh  pendidikan yang cukup  terkadang  upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi terabaikan. Dalam tulisan ini penulis bermaksud memaparkan masalah -masalah yang ‘tercecer’ dari sistem PPDB di Batam.

Para orang tua berbondong-bondong “memaksakan” anaknya ke sekolah negeri tanpa mau tahu kapasitas daya tampung sekolahnya. Yang penting sekolah negeri yang dianggap lebih murah  dan berkualitas. Padahal banyak juga sekolah swasta yang kualitasnya bagus dengan biaya yang relatif tidak mahal. Akhirnya sekolah negeri terbebani dengan jumlah rasio guru-siswa yang besar dan daya tampung kelas yang sangat tidak memadai. Sebagai ilustrasi salah satu SMA negeri di Batam dengan jumlah siswa 1.283 orang  terbagi dalam 29 rombongan belajar (rombel) memiliki guru 48 orang.

Berarti satu rombel rata-rata memuat 44-45 orang siswa dengan perbandingan rasio guru-siswa 1:27. Masalah ini lebih ekstrim lagi terjadi di pendidikan dasar. Sebuah sekolah dasar negeri di kecamatan Seibeduk dengan jumlah siswa 1194 orang yang terbagi dalam 28 rombel dengan jumlah guru 36 orang dan ketersediaan ruang 17 ruang kelas. Berarti rata-rata jumlah siswa per rombel 42-43 siswa dengan ratio perbandingan guru-siswa 1: 33 dan menerapkan double sift.

Sebagai perbandingan dengan standar nasional pendidikan yaitu standar proses (permendiknas No 41 Tahun 2007) dinyatakan bahwa untuk terlaksananya proses pembelajaran yang baik ada persyaratan yang harus dipenuhi yakni salah satunya mengenai jumlah maksimal peserta didik per rombel. Untuk SD jumlah maksimal peserta didik 28 orang per rombel sedangkan untuk SMP, SMA/SMK berjumlah 32 orang per rombel. Dan rasio guru – siswa ideal untuk tingkat SMA adalah 1:20. Dalam Permendikbud No 23 tahun 2013 perubahan atas Permendiknas No 15 tahun 2010 tentang Standar pelayanan minimal pendidikan dasar di kabupaten/kota dinyatakan bahwa satu rombel di sekolah dasar berisi tidak lebih dari 32 orang siswa dan untuk tingkat SMP tidak lebih dari 36 orang siswa per rombel.

Dengan memaksakan diri menerima siswa melebihi kapasitas daya tampung dengan menerapkan double sift ataupun memadatkan jumlah siswa dalam satu rombel memang dapat menyelesaikan sementara masalah dalam PPDB. Gejolak masyarakat dalam PPDB ini dapat diatasi, namun ini hanya merupakan solusi jangka pendek. Ekses jangka panjang perlu diperhitungkan. Beban belajar yang tidak terpenuhi akibat penerapan doubleshift dan jumlah siswa yang terlalu besar dalam satu rombel akan menganggu efektivitas belajar.

Jika kondisi seperti di atas terjadi terus menerus selama bertahun-tahun, problem ini akan jadi bom waktu bagi ketersediaan   sumber daya manusia yang berkualitas di Batam. Anak-anak usia sekolah sekarang (7-17 tahun) pada tahun 2020-2035 akan menjadi usia produktif yang  diperkirakan mencapai jumlah puncak sekitar 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Indonesia  mendapat bonus demografi  berupa populasi usia produktif yang paling besar sepanjang sejarah berdirinya negara ini.  Bonus demografi ini adalah masa emas bagi Indonesia. Namun bonus ini bisa berubah menjadi bencana besar jika mulai sekarang kita tidak mempersiapkan generasi emas ini dengan baik.

Sekolah yang baik menurut Marry Leonhart adalah sekolah yang para gurunya  benar-benar menyukai dan menyenangi siswanya. Hal tersebut dapat terjadi jika interaksi guru dan siswa terjadi dengan intensitas   yang tinggi. Rasio guru-siswa yang kecil dan daya tampung kelas yang memadai penting untuk diperhatikan agar  interaksi guru dan siswa dapat terjadi dengan intensitas yang tinggi. Sekolah bukan merupakan pabrik industri yang memproduksi lulusan siswa secara massal. Bagaimana proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik jika guru hanya kenal siswanya dari daftar nama dan daftar nilai karena memiliki jumlah siswa melebihi daya tampung? Karena itu perlu ada upaya terobosan yang luar biasa dan penanganan  yang lebih serius mengatasi masalah  ini.

Masalah berikutnya menyangkut sistem yang diterapkan dalam PPDB tersebut.  Sekolah unggul dipersilahkan untuk mengadakan seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) lebih awal  daripada sekolah regular. Dengan menerapkan sistem PPDB yang berlangsung terlebih dahulu di beberapa sekolah yang  unggul  akan makin memperlebar kesenjangan  dengan sekolah-sekolah  lain.

Dalam tulisannya ‘Menjadi guru untuk Muridku’, ST Kartono menyatakan bahwa penerimaan siswa baru menjadi mekanisme mengumpulkan anak-anak pintar.  Murid dari kelompok kurang pintar tertutup aksesnya untuk mendaftar di sekolah yang ‘baik’. Sebagian sekolah-sekolah negeri yang menganggap nilai ujian nasional sebagai simbol prestasi lantas menolak masuknya anak-anak yang kurang pintar demi menjaga mutu. Tuduhan  anak kurang pintar atau kurang baik sebagai biang menurunnya kualitas dan nilai ujian nasional di sekolah milik negara mengindikasikan  bahwa selama ini guru  tidak mampu  berbuat banyak untuk mengangkat siswanya menjadi lebih baik di sekolah -sekolah yang dianggap berkualitas tersebut.

Jika semua sekolah (baca : guru) memilih hanya mau mengajar siswa yang pintar saja, lalu siapa yang  mengajar siswa yang kurang pintar? Bukankah semua warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak seperti yang dijamin dalam UU? Bukankah sudah menjadi tugasnya guru untuk memintarkan yang kurang pintar, membaikkan yang kurang baik? Sistem PPDB yang digunakan sekolah -sekolah sekarang sebagian besar menggunakan seleksi kognitif saja.  Calon Siswa dirangking berdasarkan nilai kognitif.
Yang berkemampuan kognitif tertinggi pasti akan diterima di sekolah favorit. Yang kurang nilai kognitifnya akan masuk ke sekolah pilihan kedua atau ke tiga yang dianggap sekolah kelas dua. Sampai kapan pun stigma sekolah kelas dua akan terus melekat; selama sistem PPDB-nya menyebabkan sekolah lain harus ikhlas menerima siswa yang  dideteksi kemampuan kognitifnya lebih rendah dari input sekolah favorit tersebut. Bagaimana jika dibalik kondisinya?
Penulis terinspirasi dengan tawaran Munif Chatib dalam bukunya’ Sekolahnya Manusia’ yang mengusulkan siswa yang rendah nilai kognitifnya justru dimasukkan ke sekolah unggul dan sebaliknya. Efek positifnya adalah pemerataan sekolah unggul yang akan terwujud dengan cepat di setiap wilayah.

Sekolah yang unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajarannya  bukan pada kualitas input siswanya (Munif Chatib) . Sekolah yang unggul seyogyanya best in process bukanlah best in input . Artinya sekolah unggul harus menerima siswa dalam kondisi kognitif yang beragam; tidak terbatas hanya menerima siswa yang pandai-pandai saja. Sudah menjadi tugasnya sekolah untuk membuat siswa yang kurang kognitifnya menjadi lebih baik. Justru siswa yang dianggap kurang kognitifnya jika dimasukkan ke sekolah unggul sehingga memperoleh kualitas proses pembelajaran  yang unggul dan dihargai setiap potensinya akan menunjukkan prestasinya secara maksimal.

Sebagai ilustrasinya : siswa yang dianggap kemampuan kognitifnya rata-rata 5 setelah menempuh proses pembelajaran di sekolah kemudian kemampuan kognitifnya rata-rata menjadi  6.5 berarti kualitas pembelajaran di sekolah tersebut dapat dikatakan unggul. Karena berhasil  membantu kemampuan kognitif siswa menjadi lebih baik sesuai potensinya. Tetapi jika input kemampuan kognitif siswanya rata-rata 7 setelah menempuh proses pembelajaran di sekolah, rata-rata kemampuan kognitifnya tetap 7 padahal dari sisi potensinya siswa tersebut dapat lebih baik lagi. Hal berarti kualitas pembelajaran di sekolah tersebut belum dapat disebut unggul karena belum dapat memaksimalkan potensi yang ada.

Demikianlah beberapa gambaran masalah-masalah yang selama ini ‘tercecer’ dari sistem PPDB di Batam selama ini.  Mudah-mudahan dapat menjadi perhatian kita semua di tengah upaya mempersiapkan generasi muda kita menyongsong  masa emas Indonesia.   Oleh karena itu semua pihak baik stakeholder pendidikan dan  masyarakat  dapat bersama-sama memikirkan solusi yang lebih tepat dalam  memperbaiki sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) ini pada masa yang akan datang. Diharapkan juga para orang tua agar tidak memaksakan anaknya menempuh pendidikan di sekolah yang sudah melebihi daya tampungnya; jika mengharapkan anaknya memperoleh pendidikan yang lebih baik lagi.  Untuk pihak sekolah diharapkan keihklasannya untuk mendidik siswa seperti apapun siswa yang dihadapinya tanpa pilih-pilih. Mari kita sambut tahun pelajaran baru ini dengan senyum dan keihklasan.***

Lily Rosnawati
Praktisi Pendidikan Provinsi Kepri

Sumber:
http://batampos.co.id/27/06/2013/perbaiki-sistem-ppdb

Diskusi

Satu respons untuk “Perbaiki Sistem PPDB

  1. Good Information,,,, salam kenal balik

    Posted by bapak fauzul | Juni 2, 2014, 3:19 am

Tinggalkan komentar

Kategori

Blog Stats

  • 120.886 hits

Flag Counter

'Idul FitriJuni 26, 2017
Hari yang ditunggu telah tiba.
Masuk SekolahJuli 17, 2017
Hari yang ditunggu telah tiba.

Alamat dan Jam Kerja

Telepon: +62778-322285
Jam Kantor:
Senin s.d. Kamis: 07.15 - 16.15
Jum'at: 07.00 - 15.40